Minggu, 06 Februari 2011

Bencana Bengkulu Berpacu dengan Waktu


GEMPA bumi 7,9 pada skala Richter yang mengguncang Bengkulu dan sejumlah kawasan di Sumatra, tidak bisa dimungkiri adalah bencana yang menyedihkan. Ribuan rumah dan bangunan luluh lantak, ribuan pengungsi kehilangan tempat tinggal, dan belasan meninggal.
Akan tetapi di celah-celah kedukaan tersembul juga sedikit kegembiraan. Kita gembira karena pemerintah ternyata menampik bantuan asing. Adalah PBB dan Singapura yang hendak mengulurkan tangan bagi korban bencana kali ini. Tetapi baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Wakil Presiden Jusuf Kalla kompak menolak.
Kegembiraan, tentu, didasarkan pada analisis logis. Kalau bantuan asing ditampik, berarti kita sesungguhnya mampu mengatasi bencana yang menimpa anak negeri di negeri sendiri. Bencana demi bencana yang sering sekali memorak-porandakan Indonesia rupanya telah menumbuhkan kemampuan untuk belajar dari malapetaka.
Ini sekaligus mengangkat status kompetensi negara. Dari negara yang serbameminta di kala bencana, menjadi negara yang membatasi belas kasihan negara lain terhadap kenestapaan warganya.
Tetapi peningkatan kompetensi dan tanggung jawab seperti ini masih harus dibuktikan. Tidak sekarang, tetapi setidak-tidaknya satu bulan mendatang.
Dari segi kecepatan informasi, terlihat–walaupun masih gelagapan–telah terjadi perubahan sikap melayani yang baik. Badan Meteorologi dan Geofisika serta sejumlah instansi terkait memberi tahu publik bahwa telah terjadi gempa dan peluang tsunami.
Presiden Yudhoyono memimpin rapat darurat. Obat-obatan dan makanan serta fasilitas tanggap darurat berdatangan ke Bengkulu dan pantai Sumatra dari instansi resmi.
Pemerintah terlihat berupaya tidak mau kalah cepat dari badan-badan swasta atau lembaga swadaya masyarakat dalam menolong warga yang menderita. Dana Rp212 miliar bisa disepakati dengan gampang untuk mengatasi bencana di Bengkulu.
Tetapi pengalaman di masa lalu, terutama dalam kasus penanggulangan bencana gempa di Yogya dan Aceh, mendorong kita untuk khawatir. Khawatir karena pola penanggulangan bencana di Indonesia belum berubah banyak.
Setiap kali ada bencana, entah banjir, entah longsor, entah gempa bumi, pemerintah cukup baik dalam bereaksi melalui bicara dan rapat. Tetapi dalam penerapan, sering tumpang tindih bahkan lamban.
Yogyakarta adalah contoh yang paling kentara untuk dikemukakan. Setelah lebih dari satu tahun gempa menimpa, masih sangat banyak penduduk yang tinggal di tenda-tenda darurat. Aceh juga sama. Tiga tahun setelah tsunami menghajar, masih banyak sekali warga yang kehilangan rumah tinggal, bertahan di penampungan darurat. Padahal dana yang mengalir ke sana sangat banyak dan rehabilitasinya dikerjakan oleh sebuah tim nasional yang besar.
Gempa di Bengkulu kali ini memiliki dimensi dukacita yang agak lain. Gempa terjadi di awal Ramadan. Satu bulan dari sekarang, warga akan merayakan Hari Raya Idul Fitri. Adalah amat merisaukan jika dalam tempo hanya sebulan seluruh impian tentang kegembiraan Idul Fitri sirna dari mereka yang tertimpa bencana.
Di sinilah tantangan terberat pemerintah. Mampukah dalam satu bulan ke depan, mengembalikan korban ke rumah-rumah mereka seperti sedia kala?
Rasanya tidaklah mudah. Membangun dan merehabilitasi ribuan rumah dalam tempo satu bulan ke depan adalah pekerjaan besar. Selain membutuhkan uang dalam jumlah besar, juga memerlukan komitmen besar, dan koordinasi dalam dimensi besar juga.
Bila gagal, publik akan menilai penolakan bantuan asing tidak disebabkan oleh keyakinan tentang kemampuan sendiri, tetapi simplifikasi terhadap bencana. Ini tentu menyedihkan.
Tetapi, dalam kultur optimisme yang mesti dibangun, tidak elok memang, menilai buruk terhadap sesuatu yang belum terbukti. Baik, kita tunggu….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silah kan teman teman unttuk berkomentar...keey